Peliknya berjiran dengan Indonesia

Sebagai warga negara Indonesia, rasanya saya merasa jenuh dengan pemberitaan tentang tetangga (jiran) Malaysia. Bukan konten beritanya yang membuat saya jengkel, tapi pemberitaan ala media Indo itu yang, maaf, memuakkan. Alih-alih membuat klarifikasi atau verifikasi atas suatu kasus, media-media lokal itu selalu mengabarkan dengan gaya bahasa yang sarat provokasi. Mulai dari senketa blok Ambalat, klaim atas item budaya, hingga urusan TKI.
Yang terbaru adalah ini.




Harian Republika, yang saya nilai (sebelumnya) sebagai media yang cukup memahami konstelasi dunia, tak ada bedanya dengan model pemberitaan media lain yang sekular dan cenderung mengail di air keruh. Penyajian gaya bahasa tak jauh dari nada provokasi. Lihat saja berita tersebut. Kata 'usir' itu tentu perlu disesuaikan dengan memakai kata yang tepat, yaitu deportasi. Menurut kamus Longman Dictionary of Contemporary English, 'deport' berarti 'to make someone leave a country and return to the country they came from, especially because they do not have a legal right to stay.' Satu kata 'deportasi' sudah sangat efektif untuk memberitakan satu bundel cerita mengapa (Pemerintah) Malaysia perlu mengusir TKI. Ya, tentu karena TKI itu bermasalah menurut prosedur imigrasi. Apakah kita lantas akan berdalih, mengapa harus diusir, atau dideportasi, jika kita adalah tetangga? Harusnya memang demikian, satu tetangga memahami kondisi tetangga lainnya. Namun, selama ini bukankah apa yang diperbuat Pemerintah Malaysia itu serupa dengan tingkah para patriotis yang tak mau item budayanya diklaim? Ya, dua kubu itu, antara Pemerintah Malaysia dengan para patriotis Indonesia itu hanya menggunakan logika nasionalisme. Padahal nasionalisme tak lebih hanyalah paham yang kacau. Perseturuan Indo-Malay ini adalah bukti konkretnya, bagaimana dua negeri yang memiliki keserumpunan harus bersitegang untuk masalah yang secara kekeluargaan bisa dipahami, sehingga keduanya harus merasa terpisah akar budayanya, padahal Indonesia adalah juga bagian dari Melayu, begitupun Malaysia. Saya kira orang Indonesia memang harus lebih banyak disejahterakan lagi oleh pemerintahnya.



Dasar dari sikap saya ialah kesadaran bertetangga, dan memilah bagaimana dan siapa sebenarnya musuh yang sebenarnya ada di antara kedua bangsa. Mengapa rakyat Malaysia tidak bisa dipersalahkan atas insiden-insiden yang terjadi di negeri mereka. Selain perilaku media di sana berbeda dengan media di sini, kontrol pemberitaan yang kelewat ketat telah menghalangi akses rakyat untuk mengetahui apa yang terjadi di wilayah negeri mereka. Sebenarnya sama saja, hanya berkebalikan, jika sebagian besar dari kita di sini membaca berita provokasi, rakyat sana pun membaca media lokal yang 'santun'. Kebebasan media di Indonesia itu sebenarnya tidak juga lebih baik. Apa arti kebebasan, jika tidak ditopang dengan penyejahteraan kehidupan rakyat? Rakyat dihujani kabar-kabar provokatif yang tak bisa mereka klarifikasi. Satu macam cerita, untuk semua saluran berita. Entah media elektronik, atau media cetak, isinya 'satu single lagu'. Tak ayal, yang diuntungkan adalah provokator yang meraup untung dari jualan cerita. 'Uniknya', pemerintah sini pun lebih mengedepankan lobi-lobi politik yang tidak transparan. Kasus-kasus yang menimpa TKI tidak diselesaikan dari permasalahan akarnya. Isu moratorium, atau penghentian pengiriman TKI menjadi salah satunya yang selalu disinggung. Itu pun bukan dengan memberikan peluang kerja dan tawaran penghasilan yang lebih baik di negeri sendiri. Hanya suatu cara untuk meredakan sesaat isu yang tengah bergaung.

Dan kini setelah puluhan tahun 'gema ganyang Malaysia' itu, masihkah kita selalu berpikir bahwa memang tak ada yang salah dalam pemerintahan negeri ini?

No comments: