Mengkonfirmasi Moral Sebagian Pelaku Media Kita
vis a vis Video Porno






Dalam pekan-pekan terakhir ini media dan sebagian kita disibukkan dengan pemunculan video porno ‘mirip’ beberapa artis top negeri ini. Karier mereka tengah melesat bak bintang jatuh di malam yang cerah, berpendar indah, lantas memudar entah di mana akan terjerembabnya. Kepopuleran mereka telah membuat pemunculan tayangan tak pantas itu menuai banyak tanggapan dalam entusiasme publik. Entah sekadar ‘ingin tahu’, ‘klarifikasi’ hingga ‘untuk tujuan penelitian’ berbagai kalangan merasa berkepentingan dengan isu itu.

Hingga blog ini saya tulis, sejumlah pihak yang berurusan terhadap penyelesaian dan terkena dampak isu para artis tersebut telah melakukan tindak kebijakan menurut prosedur mereka. Misalnya Polri, pakar infotelematika yang tengah menyelidiki keaslian tayangan itu, serta pihak sponsor pemasang artis-artis itu dalam iklan mulai memutus kontrak.

Heboh memang, jika artis sekelas mereka tiba-tiba disentak dengan tayangan yang, bisa dipastikan, tak ingin diketahui publik. Namun bagai ayam yang telah menjadi bangkai. Popularitas yang menjanjikan berubah menjadi hal yang menjijikkan dan memuakkan akibat kebablasannya ulah mereka.

Menyimak dari rentetan pemberitaan media, pemunculan video itu hanyalah satu mata rantai pemberitaan pemunculan video-video serupa yang menodai masa-masa dalam dinamika sosialita dan masyarakat biasa di Indonesia. Mulai dari video mesum oknum pejabat hingga anak sekolah yang tertangkap kamera tengah berzina pernah diungkap media.

Namun tanpa bosan dan nyaris tanpa perbaikan etika pewartaan, sebagian media justru menjadi mesin pengeruk keuntungan luar biasa dengan pemberitaan isu ini. Media tidak sekadar mengabarkan, namun menjurus telah menggelembungkan isu sehingga perhatian publik tersita dengan isu yang harusnya menjadi suatu peringatan terhadap anggota masyarakat lainnya. Tak ayal, penggelembungan isu itu telah menyebabkan tayangan itu seperti menjadi hak sebagian orang untuk mencari tahu kebenarannya secara langsung, entah dengan membeli 'bajakannya', mencongkel dari situs-situs, maupun 'berbagi' video di situs jasa pertemanan. Sesuatu yang semula menjadi aib, yaitu melihat tayangan porno, menjadi sesuatu yang 'oh, I (also) see!'.

Entah, jika saya katakan bahwa sedikit banyak common interest bisa bergeser, mewajarkan suatu tayangan tabu, apakah ini hanya menjadi dosa sang pelaku zina, tanpa tanggung jawab media massa penggemabar-gembor isu pornoaksi? Kita tunggu perbaikan etika pewartaan dalam isu serupa.

No comments: